ANEMIA DEFISIENSI BESI (ANEMIA GIZI BESI)
A.
Definisi Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah
anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis,
karena cadangan besi kosong (depleted
iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin
berkurang. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai,
terutama negara-negara tropic atau negara dunia ketiga, oleh karena sangat
berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi (Bakta et al,2009).
Seseorang dikatakan mengalami anemia bila memiliki hemoglobin
(bagian dari sel darah merah) di bawah 12 g/dL untuk wanita dan di bawah 13
g/dL untuk laki-laki. Zat besi memiliki peran yang sangat penting dalam tubuh,
seperti untuk pembentukan hemoglobin, menjaga kesehatan sel, kulit, rambut, dan
kuku. Angka kejadian kasus anemia defisiensi besi di Indonesia masih tinggi.
Sekitar 40-45% penduduk mengalami anemia defisiensi besi. Kasus paling banyak
terjadi pada anak usia balita (usia 0-5 tahun). Remaja perempuan dan wanita
hamil merupakan kelompok lain yang rentan terhadap anemia defisiensi besi.
Dalam tubuh orang dewasa, terdapat zat besi sebanyak 53 mg/kgBB atau
sekitar 4 gram. Sementara untuk bayi baru lahir terdapat sekitar 0,5 gram.
Sekitar 67% -nya berada dalam bentuk hemoglobin, 30% dalam bentuk
cadangan feritin atau hemosiderin dan 3% dalam bentuk mioglobin. Sekitar 0,07%
dalam bentuk transferin dan 0,2% dalam bentuk enzim. Feritin bersifat mudah larut,
tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua adalah
hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit
dibandingkan feritin. Hemosiderin ditemukan pada sel kupfer hati dan makrofag
di limpa dan sumsum tulang. Apabila asupan besi dari makanan tidak memadai,
cadangan besi ini akan digunakan.
B. Klasifikasi Derajat Defisiensi Besi
Jika dilihat dari beratnya
kekurangaan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3
tingkatan:
·
Deplesi besi (iron depleted state): cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk
eritropoesis belum terganggu.
·
Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropiesis): cadangan besi kosong, penyediaan
besi untuk eritrropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara
laboratorik.
C. Penyebab Anemia Defisiensi Besi
Defisiensi berarti kekurangan
sehingga sesuai namanya anemia defisiensi besi disebabkan karena kekurangan zat
besi. Tanpa besi yang cukup, tubuh tidak dapat memproduksi sel darah merah yang
sehat (hemoglobin). Fungsi hemoglobin dalam darah adalah untuk menmbawa oksigen
ke seluruh tubuh. Saat tubuh kekurangan zat besi, tidak langsung akan muncul
anemia defisiensi besi. Proses untuk menjadi anemia berlangsung dalam jangka
waktu panjang.
Penyerapan zat besi terutama terjadi
pada usus halus. Bila tubuh memiliki kelebihan zat besi, maka penyerapan akan
diturunkan. Sebaliknya bila tubuh kekurangan zat besi, penyerapan dapat
ditingkatkan hingga 5 kali lipat. Zat besi dapat ditemukan pada makanan daging
dan sayur-sayuran. Zat besi pada daging lebih mudah diserap daripada nabati
atau yang berasal dari sayuran. Kebutuhan zat besi pun
tergantung pada jenis
kelamin dan umur.
Kecukupan yang dianjurkan untuk anak 2-6 tahun 4,7 mg/hari, usia 6-12 tahun 7,8
mg/hari, laki-laki 12-16 tahun 12,1 mg/hari, gadis 12-16 tahun 21,4 mg/hari,
laki-laki dewasa 8,5 mg/hari, wanita dewasa usia subur 18,9 mg/hari, menopause
6,7 mg/hari, dan menyusui 8,7 mg/hari.
Kekurangan zat besi terjadi saat permintaan zat besi tidak
dapat dicukupi dengan penyerapan zat besi. Penyebab anemia defisiensi besi
dapat digolongkan dalam 2 besar, yaitu:
1. Peningkatan kebutuhan
- Kehamilan: Kekurangan zat besi pada wanita hamil sering terjadi, karena peningkatan permintaan zat besi di dalam tubuh. Peningkatan ini dikarenakan jumlah darah meningkat dan zat besi diperlukan untuk perkembangan janin. Dengan demikian cadangan zat besi dalam tubuh tidak mencukupi. Pada wanita hamil umumnya diberikan suplemen zat besi tambahan dengan sebelumnya berkonsultasi dengan dokter.
- Anak-anak: Pada anak-anak yang masih dalam pertumbuhan memerlukan zat besi yang lebih tinggi, terutama pada anak usia balita (dibawah 5 tahun).
2. Berkurangnya asupan atau
kehilangan cadangan
- Asupan zat besi yang kurang: Tubuh tidak bisa membuat zat besi dengan sendirinya. Zat besi hanya bisa didapat melalui makanan. Konsumsi makanan rendah zat besi menyebabkan tubuh menglami kekurangan. Bebebrapa makanan yang mengandung banyak zat besi yaitu daging, telur, sayuran hijau, kacang-kacangan, dan makanan yang ditambahkan zat besi.
- Gangguan penyerapan: Gangguan pada usus halus dapat mempengaruhi penyerapan zat besi. Seseorang yang menglami operasi pemotongan usus rentan mengalami kekurangan zat besi.
- Kehilangan darah: Kehilangan darah menyebabkan banya hemoglobin dan zat besi yang terbuang. Umumnya terjadi perdarahan yang teru menerus dalam jangka waktu laama (kronis). Perempuan dengan menstruasi yang banyak dan memanjang juga dapat menyebabkan kekurangan zat besi.
Kekurangan
zat besi lebih sering dialami pada wanita, anak-anak, vegetarian, dan mereka
yang melakukan donor darah rutin. Wanita mengalami menstruasi sehingga berisiko
kekurangan zat besi. Anak-anak rentan karena mereka membutuhkan zat besi untuk
pertumbuhan dan tidak mendapatkan suplai zat besi yang cukup dari ASI (Air Susu
Ibu) atau susu formula. Vegetarian berisiko karena mereka tidak memakan makanan
yang kaya zat besi seperti daging.
Donor darah menyebabkan berkurangnya cadangan zat besi dalam
tubuh sehingga memerlukan tambahan suplemen zat besi.
D. Gejala Anemia Defisiensi Besi
Gejala
yang ditimbulkan oleh kekurangan zat besi bergantung pada derajat kekurangan.
Bila hanya kekurangan sedikit, tidak ada gejala apapun yang muncul, sehingga
jarang mendapat penanganan. Gejala dan tanda
yang dapat terlihat antara lain adalah pucat. Pada kadar Hb 6-10 g/dl,
kompensasi masih dapat terjadi secara efektif sehingga gejala anemia hanya
ringan saja. Namun, bila sudah kurang dari 5, terjadi gejala iritabel dan
anoreksia secara lebih jelas. Anemia yang terjadi terus menerus daat
menimbulkan terjadinya takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik. Akan
tetapi, ada pula orang dengan Hb kurang dari 3-4 g/dl yang tidak mengalami
keluhan karena tubuh sudah melakukan kompensasi. Oleh karena itu, gejala anemia
defisiensi besi sering tidak sesuai dengan kadar Hb.
Gejala lain yang muncul terkait dengan kelainan non hematologi di
antaranya adalah perubahan pada epitel yang menunjukan gejala koilonikia
(bentuk kuku konkaf, atau spoon shaped nail), atrofi papila lidah, postericoid
oesophageal webs dan perubahan mukosa lambung dan usus halus. Intoleransi
terhadap latihan atau kerja, tidak mampu mempertahankan suhu tubuh normal saat
udara dingin, dan daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun karena fungsi
leukosit yang tidak normal.
Bila kekurangan yang terjadi cukup
besar, maka dapat muncul beberapa gejala seperti:
- Kelelahan hebat;
- Kulit pucat;
- Kelemahan;
- Sesak nafas;
- Sakit kepala atau pusing/kepala terasa ringan;
- Tangan dan kaki yang dingin;
- Mudah marah;
- Gangguan peradangan pada lidah;
- Kuku menjadi rapuh;
- Rasa deg-degan;
- Memakan makanan yang tidak lazim seperti es, tanah, tembok;
- Nafsu makan yang rendah;
- Rasa kesemutan pada kaki;
- Gangguan kinerja dan mental ;
- Gangguan pada penglihatan dan pendengaran.
Bila
muncul gejala-gejala seperti di atas, segera konsultasi dengan dokter karena
anemia defisiensi besi hanya dapat diketahui melalui pemeriksaan medis. Anemia
defisiensi besi yang biarkan terus menerus dapat menyebabkan gangguan lebih
berat seperti gangguan jantung (gangguan irama, pembesaran jantung, gagal jantung), gangguan kehamilan (bayi prematur
atau berat badan lahir bayi rendah), dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan
pada anak-anak.
E. Diagnosis Anemia Defisiensi Besi
Untuk menegakkan diagnosis anemia
defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti
disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat.
Terdapat tiga tahap diagnosis ADB.
Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin
atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah
kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya
defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukkan penyebab dari
defisiensi besi yang terjadi (Bakta et al,
2009).
Secara laboratoris untuk menegakkan
diagnosis anemia defisiensi besi dapat dipakai kriteria diagnosis anemia
defisiensi besi sebagai berikut:
Anemia hipokromik mikrositer pada
hapusan darah tepi, atau MCV <80fl dan MCHC <31% dengan salah satu dari
a,b,c, atau d.
a.
Dua dari
tiga parameter dibawah ini:
-
Besi serum
<50 mg/dl
-
TIBC
>350 mg/dl
-
Saturasi
transferin: <15%, atau
b. Feritin serum <20 mg/l, atau
c.
Pengecatan
sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan cadangan besi
(butir-butir hemosiderin) negatif, atau
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x
200 mg/hari (atau preparat besi yang lain setara) selama 4 minggu disertai
kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl (Bakta et al, 2009).
F. Pencegahan dan Pengobatan (Penanganan) Anemia Defisiensi Besi
1. Pencegahan
Pencegahan
secara dini penyakit anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan cara :
a) Memberikan ASI eksklusif pada bayi.
b) Setelah 6 bulan dapat diberi susu
formula yang difortifikasi zat besi.
c) Memberikan tambahan zat besi, hal
ini dianjurkan sejak bayi hingga remaja.
d) Banyak makan makanan yang mengandung
zat besi, seperti hati ayam dan hati sapi, makanan laut, daging merah tanpa
lemak, tahu dan tempe, sayuran hijau (brokoli, bayam, buncis) dan
kacang-kacangan.
e) Menghindari minuman yang dapat
menghambat penyarapan zat besi.
2. Pengobatan (Penanganan)
Penanganan anemia defisiensi besi dapat dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut :
a)
Pemberian
Suplemen Zat Besi
Penanganan anemia defisiensi besi dapat dilakukan
dengan mengkonsumsi makanan kaya zat besi dan pemberian suplemen zat besi. Bila
penyebab dari kekurangan zat besi dapat diketahui maka diperlukan penangan
terhadap penyebab tersebut.
Suplemen zat besi diberikan untuk menggantikan kekurangan zat besi
di dalam tubuh. Sebagian besar orang dengan anemia defisiensi besi membutuhkan
150-200 mg besi elemental per harinya. Suplemen ini lebih
baik di minum saat perut kosong, namun beberapa orang menjadi mual
sehingga dapat diberikan setelah makan. Penggunaan suplemen
zat besi diberikan dalam jangka waktu panjang hingga beberapa bulan.
Penggunaan suplemen zat besi sebaiknya dibarengi dengan vitamin C
untuk meningkatkan penyerapan karena zat besi membutuhkan suasana asam untuk
penyerapan. Buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C antara lain brokoli,
anggur, kiwi, mangga, melon, jeruk, strawberi, dan tomat. Vitamin C yang
direkomendasikan adalah 250 mg bersamaan dengan suplemen zat besi. Penggunaan
obat yang menurunkan keasaman lambung seperti obat maag diberikan jarak
waktu sekitar 2-4 jamdengan suplemen besi.
Pada anak-anak direkomendasikan untuk diberikan suplemen zat besi
dengan prioritas usia di bawah 5 tahun, terutama usia 0-2 tahun pertama. Efek
samping yang ditimbulkan dengan penggunaan suplemen zat besi adalah
konstipasi/sembelit, dan tinja menjadi hitam. Zat besi yang terlalu berlebihan
juga menimbulkan gangguan hati, sehingga diperlukan pengawasan dokter dan tidak
bisa sembarangan memakai suplemen ini.
Bila dengan penggunaan suplemen zat besi tidak memperbaiki keadaaan,
diperlukan penanganan lebih lanjut untuk mengetahui penyebab, apakah karena
gangguan penyerapan atau adanya kehilangan darah. Bila anemia yang terjadi
sangat berat, diperlukan transfusi darah untuk meningkatkan hemoglobin darah.
b)
Terapi
Terapi terhadap anemia defisiensi
besi adalah:
a.
Terapi
kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya pengobatan cacing
tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus
dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
b. Pemberian preparat besi untuk menggangti
kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacement therapy) (Bakta et al,2009).
·
Terapi Besi Oral
Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh
karena efektif, murah dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (
sulfas ferosus) merupakan preparat pilihan pertama oleh karena paling murah
tetapi efektif. Dosis anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap 200 mg sulfas ferosus
mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg
mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis
dua sampai tiga kali normal (Bakta et al,2009).
Preparat lain: ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate dan ferrous succinate. Preparat besi oral
sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping lebih sering
dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang mengalami
intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah makan
(Bakta et al,2009).
Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6
bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar hemoglobin
normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan yang diberikan 100
sampai 200 mg (Bakta et al,2009).
Dalam
pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien dinyatakan memberikan respons
baik bila retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai puncak pada hari ke
-10 dan normal lagi setelah hari ke-14, diikuti kenaikan Hb 0,15 g/hari atau 2
g/dl setelah 3-4 minggu (Bakta et al,2009).
·
Terapi Besi Parenteral
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500
atau 1000 mg
|
Terapi
besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan mengisi besi
sebesar 500 sampai 1000 mg.
c)
Pengobatan lain
·
Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi(hewani)
·
Vitamin c : vitamin c diberikan 3 x 100 mg per hari untuk
meningkatkan absorpsi besi
·
Tranfusi darah : ADB jarang memerlukan transfuse darah.
Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia defisiensi
besi adalah:
a) Adanya penyakit jantung anemic
dengan ancaman payah jantung
b) Anemia yang sangat simtomatik,
misalnya anemia dengan gejala pusing yang sangat menyolok
c) Pasien memerlukan peningkatan kadar
hemoglobin yang cepat seperti pada kehamilan trisemester akhir atau preoperasi
Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red cell)
untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan
pemberian furosemid (Bakta et al,2009).
Daftar Pustaka
Bakta,
I Made.,Suega,Ketut.,Dharmayuda, Tjokro Gde., 2009. Anemia Defisiensi Besi. in Sudoyo AW,Setiyohadi B, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 2. Edisi ke-4. internal publising FK UI. hal.,: internal
publising FK UI. hal. 1127-1135 (Jakarta 2009).
Kartamihardja,
Emmy. 2008. Anemia Defisiensi Besi.
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Available from:
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol1.no2.Juli2008/ANEMIA%20DEFISIENSI%20BESI.pdf. { Accesed 30 Agustus 2013}
Manampiring, Aaltjie.E., 2008.
Prevalensi Anemia dan Tingkat Kecukupan Zat Besi Pada Anak Sekolah Dasar Di
Desa Minaesa Kecamantan Wori Kabupaten Minahasa Utara.Tesis.Manado. Departemen
Pendidikan Nasional RI Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.
Muhammad,Adang.,Sianipar, Osman.,
2005. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit Kronis Menggunakan Peran Indeks
sTfR-F. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical
Laboratory,Vol.12,No.1,Nov 2005:9-15.
Hoffbrand
et al., 2005.
Robbins,
Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, S.L., 2007. Buku Ajar Patologi Volume 2.
Edisi ke -7.Jakarta:EGC.hal 459-460
Wulansari,Yulia.,
2006. Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Anemia Gizi Besi (AGB) Di Berbagai
Provinsi di Indonesia dan Biaya Penanggulangannya Melalui Suplementasi Zat
Besi. Skripsi. Bogor. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.